Rabu, 18 Juni 2014

Kurang Berjalannya Pasal 34 ayat 1,2,3 dalam Masyarakat

Kurang Berjalannya Pasal 34 Ayat 1, 2, 3

di Dalam Masyarakat

Sebelum membahas tentang kurang berjalannya pasal 34 ayat 1, 2, dan 3, terlebih dahulu akan dijabarkan isi dari pasal 34, yaitu yang berbunyi :
1)   Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. ****)
2)   Negara mngembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. ****)
3)   Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas dan fasilitas pelayanan umum yang layak. ****)
4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. ****)
  1. Kurang Berjalannya Pasal 34 Ayat 1 Dalam Masyarakat.

    Jika kita membaca dan memahami pasal 34 ayat (1) UUD 1945, maka akan berbunyi “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Namun faktanya banyak fakir miskin dan anak terlantar dipinggirkan oleh Negara bahkan dilirikpun tidak. Negara pura-pura buta melihat banyaknya fakir miskin dan anak-anak terlantar yang menjadikan jalanan menjadi tempat bermain, tempat mencari makan dan tempat yang begitu berbahaya, bahkan mereka tidak bisa mendapatkan pendidikan dan tempat yang layak hidup. Negara seolah-olah pura-pura buta akan kehidupan rakyatnya, pura-pura buta huruf untuk tak bisa membaca dan memahami kalimat pasal 34 ayat (1) UUD 1945 tersebut.
    Alih-alih memelihara fakir miskin dan anak terlantar, Negara lebih memilih memelihara para koruptor, para mafia pajak, para penghisap keringat rakyat dan para penghisap kekayaan Negara, Yang justru merugikan Negara sendiri.
    Para fakir miskin dan anak terlantar bertahan hidup dengan dalam kerasnya dunia dengan mengamen, menjadi pengemis, pedagang asongan bahkan mencuri mereka lakukan untuk bisa bertahan hidup. Apakah itu salah mereka ? , yang paling bersalah atas semua ini seharusnya Negara, yang tidak menjalankan perannya dengan baik.
    Alangkah baiknya Negara bisa membuka mata untuk melihat kehidupan sekitar yang telah dikesampingkan, kehidupan para fakir miskin dan anak terlantar. Mengulurkan tangan untuk memelihara mereka ditempat yang lebih layak, memberikan mereka ruang untuk mengenyam pendidikan dan tempat untuk mereka bermain.
    Seandainya itu terwujud alangkah indahnya hidup ini melihat senyuman dan kebahagiaan mereka.
    Bukti kurang berjalannya pasal 34 ayat 1 dalam masyarakat adalah sebagai berikut :
    1)   Masih banyaknya anak-anak yang mengamen, mengemis, mengasong, bahkan mencopet.
    Mari berkaca pada realita , saat berhenti di lampu merah, seorang bocah berjualan koran, seorang bocah menyuarakan suara parau nya, bahkan juga ada fakir yang meminta-minta.
    Sadarkah? Saking miskinnya mereka, mencopet mereka jadikan sebagai hobi, mengasong pun mereka tetap dikejar-kejar para patroli!.
    Mereka tidak berpendidikan, mereka tidak punya uang untuk sekolah, mereka tidak punya uang makan yang bergizi, tak punya uang tinggal di rumah mewah.
    Mereka di bodohi, mereka dililit hutang, mereka tinggal di kolong jembatan, mereka menjadi penghias kota indah dan gemerlap kelap kelip ketika malam tiba. Malam tak menjadikan mereka beristirahat, mereka tetap berpikir bagaimana cara agar esok hari dapat rezeki, dapat sesuap nasi!.
    Di peliharakah mereka oleh negara?
    “tidak!”
    “tidak sama sekali”.
    Lihat koruptor! Keluar dari penjara masih bugar adanya, wajah semakin kinclong saja, badan semakin semangat, adakah rencana lagi seusai keluar penjara?.
    Lihat koruptor, sepertinya mereka lah yang dipelihara oleh negara!.
    2)   Masyarakat miskin di Indonesia mencapai 28 juta jiwa.
    Saat ini jumlah masyarakat miskin sebanyak 28 juta atau 11,3 persen. Jumlah masyarakat miskin paling banyak terdapat di Papua, Papua Barat dan NTT. Di sana 30 persen masyarakatnya masih miskin.
    Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam pasal 34 ayat 1 dinyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
    Dengan berdasar pada pasal UUD 1945 ini saja sejatinya bahwa dimuka bumi pertiwi nusantara ini tidak boleh ada seorangpun rakyat yang penghidupannya tidak layak atau berada di garis kemiskinan. Kalaupun ada seorang rakyat yang miskin maka kewajiban negara melalui pemerintah untuk memeliharanya (dalam jangka pendek) serta berusaha untuk membuatnya kembali menjadi sejahtera (dalam jangka panjang).
    Faktanya berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Maret 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,07 juta orang atau 11,37%. Angka kemiskinan ini tentu melebihi target yang disepakati oleh Pemerintah dan DPR dalam APBN-P 2013 dimana angka kemiskinan ditetapkan sebesar 10,5%.
    Layaknya pelari yang terseok mencapai garis finis, begitulah kinerja pemerintah kini. Berbagai target yang sebelumnya digembar-gemborkan kini direvisi atau dikatakan sulit dicapai.
    Yang terbaru ialah target penurunan angka kemiskinan. Menteri Perencabaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana pada Senin (16/9) mengungkapkan target penurunan tingkat kemiskinan baik tahun ini maupun tahun depan sama-sama sulit dipenuhi.
    Tahun ini pemerintah mematok tingkat kemiskinan 9,5% - 10 % dari populasi. Untuk tahun depan, pemerintah mengajukan target sebesar 9%-11% atau 11,3% dari populasi. Padahal, target awal tingkat kemiskinan 2014 ialah 9%-10% dari total populasi. Angka baru diajukan pemerintah dengan alasan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan melambat dan inflasi yang lebih tinggi.
    Target baru itu pun dinilai sebagian pihak belum realistis. Tahun ini saja kemiskinan sebenarnya diperkirakan bisa mencapai antara 12% dan 13%.
    Melesetnya target angka kemiskinan sebenarnya bukan sesuatu yang bisa dimaklumi. Pasalnya, baik program, badan, maupun anggaran untuk penanggulangan kemiskinan terus digelontorkan.
    Meski sudah memiliki Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), pada 2010 pemerintah membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
    Setahun setelahnya pemerintah membuat enam program prorakyat baru untuk menanggulangi kemiskinan. Program itu di antaranya program rumah, listrik, dan angkutan umum murah; program peningkatan kehidupan nelayan; serta program peningkatan kehidupan masyarakat pinggir perkotaan.
    Selain itu, pemerintah sebelumnya memiliki program bantuan operasional sekolah, bantuan siswa miskin, jamkesmas, program keluarga harapan, bantuan langsung sementara masyarakat, hingga program nasional pemberdayaan mandiri.
    Pemerintah juga seolah menunjukkan kesungguhannya memerangi kemiskinan lewat angka anggaran bantuan sosial yang terus naik. Pada 2011 anggaran untuk bantuan sosial untuk penanggulangan kemiskinan mencapai Rp71,1 triliun, lalu naik menjadi Rp75,6 triliun pada 2012, dan naik lagi menjadi Rp82,5 triliun tahun ini.
    Namun, benarkah dengan angka dan program-program itu pemerintah sudah berlari kencang? Jika kita membandingkan dengan total APBN, nyatanya persentase anggaran bantuan sosial itu justru turun.
    Anggaran untuk bantuan sosial dan angka kemiskinan pada 2011 hanya 8% dari APBN tahun itu. Pada tahun berikutnya hanya 7,5%, kemudian turun lagi menjadi 6,9% pada 2013.
    Kesungguhan pemerintah dalam mengurangi kemiskinan juga dipertanyakan.
    Sejumlah program, misalnya program BLSM, sering dikritik sarat kepentingan politis.
    Alangkah aneh di negara yang kaya raya dengan hasil-hasil alamnya ini, ternyata kemiskinan masih menjadi masalah yang belum dapat diselesaikan dan dituntaskan oleh Pemerintah. 
    Bila kita mengevaluasi kinerja Pemerintah berdasarkan pada pasal 34 ayat 1maka dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia semenjak masa Orde Lama, kemudian Orde Baru hingga Orde Reformasi saat ini, belum dapat memenuhi amanat konstitusi UUD'45 untuk memakmurkan dan mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia, yang bebas dari kemiskinan. Faktanya masih banyak saudara-saudara kita sebangsa setanah air yang hidup dalam kemiskinan (bahkan dibawah garis kemiskinan) dalam negara yang kaya raya dan telah merdeka selama 68 tahun ini.
  2. Kurang Berjalannya Pasal 34 Ayat 2 Dalam Masyarakat.

    Salah satu bukti yang dapat dilihat kurang berjalannya pasal 34 ayat 2 dalam masyarakat adalah kotroversinya atau semerawutnya pemberian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).
    Ketua RT menolak membagikan kartu Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) kepada warganya. Kasus ini terjadi di RT 2/RW 3 Kampung Kiara, Desa Pabuaran Kecamatan Kemang.
    Ketua RT, Mahfud menolak membagikan kartu BLSM dikarenakan setelah dicek, banyak warga miskin yang semestinya mendapat bantuan, tidak mendapatkannya, yang di hawatirkan menuai protes keras dari warga yang seharusnya menerima bantuan.
    Menurut Mahfud, jumlah warga miskin yang ada di Kampung Kiara berjumlah 20 orang, dari 504 penerima bantuan BLSM di Desa Pabuaran Kecamatan Kemang, menurut data BPS tahun 2010.
    Sekertaris Desa Pabuaran Zaenal Abidin membenarkan jika jumlah penerima BLSM di desa memang tidak sesuai dengan fakta yang ada. Karena itu, dirinya menyesalkan pendataan yang dilakukan BPS yang tanpa melibatkan pemerintah desa, karena yang mengetahui secara detail warganya adalah orang desa.
    Sementara itu, Pemerintah Desa (Pemdes) Ciampea, Kecamatan Ciampea terpaksa menggelar rapat dadakan dengan 166 Kepala Keluarga (KK) yang resmi menjadi penerima BLSM supaya mau berbagi uang dengan ratusan warga miskin lainnya yang gigit jari dan untuk menjaga munculnya kekecewaan dari warga miskin yang tidak memperoleh BLSM. 
    Dalam perundingan yang dilakukan di kantor desa, ke 166 KK menyatakan ikhlas membagi jatahnya kepada warga miskin lain. Dari sebesar Rp300 ribu, mereka ikhlas menerima Rp100 ribu, sedangkan untuk warga miskin yang tidak terdaftar, masing masing mendapat Rp 50 ribu. Sehingga dari jumlah resmi yang terdata dikantor awalnya 166 KK, bertambah menjadi 700 KK, ini hasil musyawarah dan kesepakatan bersama yang diketahui oleh unsur Muspika Ciampea. Sekarang sudah tidak lagi muncul gejolak, karena masing masing warga mau menerimanya dan semua kesepakatan dibuat secara tertulis.

  3. Kurang Berjalannya Pasal 34 Ayat 3 Dalam Masyarakat.

    Salah satu bukti yang dapat dilihat kurang berjalannya pasal 34 ayat 3 dalam masyarakat adalah kurangnya penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak khususnya bagi rakyat miskin.
    Pada dasarnya memperoleh kesehatan adalah merupakan hak dasar bagi semua orang termasuk masyarakat yang kurang mampu. Pemerintahpun seharusnya mampu menjamin kesehatang bagi setiap warganya tanpa memandang status dari masyarakat itu sendiri apakah ia berasal dari keluarga yang mampu atau tidak bila dilihat dari bidang ekonominya.
    Dalam praktiknya, pelayaan kesehatan bagi masyarakat yang kurang mampu masih menyisakan beberapa problem yang harus dibenahi. Fakta menunjukan bahwa pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin sangat terasa perbedaannya dengan pelayanan bagi masyarakat yang berkecukupan dalam bidang ekonominya.
    Menurut Hasbullah Thabrany, dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, jumlah pemegang kartu Gakin yang dirawat inap di rumah sakit umum kurang dari lima persen dari keseluruhan pasien, fakta tersebut bukan karena masyarakat mampu membayar, tetapi dipaksa untuk membayar. Permasalahan ini yang menjadi dasar pembentukan kartu Askeskin pada tahun 2005 lalu. Tidak jauh berbeda dari program Gakin, Askeskin pun menuai banyak masalah, mulai dari data yang kurang akurat yang menyebabkan masih banyaknya keluarga miskin yang tidak terjaring program ini sampai keterlambatan PT Askes membayar klaim kepada pihak rumah sakit yang notabene provider dari program ini. Bahkan pada akhir januari 2008, PT Askes masih berhutang Rp1,145 triliun kepada beberapa rumah sakit yang menyediakan layanan Askeskin ini.
    Kemudian, Departemen Kesehatan melakukan perluasan pelayanan dengan diadakannya Kartu Jamkesmas. Sebenarnya program Jamkesmas hampir sama dengan program Askeskin. Perbedaannya, jika dalam program Askeskin, PT Askes bertindak sebagai pengelola dari sisi manajemen kepesertaan, verifikasi klaim hingga pengelolaan keuangan, maka dalam program Jamkesmas PT Askes hanya menangani masalah manajemen kepesertaan.
    Sering kali ungkapan “Orang Miskin Dilarang Sakit” karena pada kenyataannya banyak sekali Rumah Sakit yang lebih mementingkan uang dari pada keselamatan pasiennya yang kurang mampu.
    Komersialisasi layanan kesehatan benar-benar menjadi sesuatu ancaman sangat serius terhadap nyawa orang-orang miskin. Pemerintah Amerika Serikat menyadari betul soal ini. Sehingga Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, rela menunda kunjungan luar negeri, termasuk ke Indonesia, demi memperjuangkan lolosnya rancangan undang-undang kesehatan di negerinya, yang lebih berpihak kepada kaum miskin.
    Negara Indonesia sebenarnya juga mempunyai Undang Undang yang mengatur tentang kesehatan yaitu Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009. Bab XX Pasal 190 ayat (1) UU tersebut menegaskan bahwa pimpinan unit pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama pada pasien yang dalam keadaan gawat darurat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta.
    Sebagai rakyat yang merupakan bagian dari negeri ini, kita mempunyai hak untuk menuntut negara untuk memberikan layanan kesehatan gratis. Manakala negara belum mampu memenuhi hal itu, setidaknya pemerintah harus bertanggungjawab menyelenggarakan layanan kesehatan yang manusiawi.
    Contoh-contoh kurangnya penyediaan fasilitas kesehatan yang layak khususnya bagi masyarakat miskin adalah sebagai berikut :
    1)   Anak muda bernama Dedi Wahyono yang berumur 21 tahun meninggal di pelataran teras Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Depok, Selasa 12 Maret 2013. Yang sebelumnya mendapatkan penolakan dari beberapa rumah sakit yang beralasan bahwa ruang perawata bagi pasien jaminan kesehatan penuh.
    2)   Tewasnya bayi mungil berumur 3 bulan bernama Zahra Naveen karena penyakit jantung. Zahra yang seharusnya dioperasi, belum dapat dioperasi karena harus menunggu kondisinya stabil. Tatapi, alasan Rumah Sakit berubah menjadi administrasi kurang lengkap. Karena Jamkesda over limit, sebab plafon biaya operasi sebesar Rp100 juta, sedangkan biaya operasi Rp 200 juta. Pihak Rumah Sakit mengatakan bahwa harus ada jaminan, karena maksimal Jamkesda hanya Rp 100 juta.
    3)   Uding, 54 tahun, warga legok, Tangerang, seorang petani penderita penyakit tumor ganas di perut, terpaksa tidur di dekat toilet UGD RSCM karena tak memperoleh kamar perawatan. Padahal Uding sudah membawa kartu jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) yang biasa digunakan untuk orang miskin. Namun, pihak RSCM mengaku kamar pasien penuh, jadi uding diminta untuk kembali ke kampung halamannya. Apa boleh buat, karena untuk uang transport pun ia kesulitan, maka uding pasrah menunggu di rscm meskipun seakan tak ada kepastian.
    4)   Seorang bayi, anak ketiga dari Budi,  Jaksa di Medan meninggal dunia karena kanker paru-paru pada 2010. Anak yang baru berusia 45 hari ini meng­hembuskan nafas terakhir karena biaya berobat sebesar Rp 250 juta tidak ada. Kasi Pidum Kejari Sumut itu tak mampu menanggung biaya berobat sebesar itu. Askes yang dia punya, hanya mampu menjamin sampai anak kedua saja.
    Kisah diatas menjadi potret buram wajah pelayanan kesehatan Indonesia. Pelayanan kesehatan ataupun pengobatan terbaik bagi rakyat miskin tampaknya masih jauh dari harapan. Makanya, tak salah jika seorang penulis seperti Eko Prasetyo menulis buku  dengan judul yang sangat provokatif: “Orang Miskin Dilarang Sakit!”.

    DAFTAR PUSTAKA
    Hartanty, Elfryan Nur. “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara siapa?”. http://elfryan.blogspot.com/2012/04/fakir-miskin-dan-anak-terlantar.html (22 Oktober 2013).
    N,N. “Di balik pasal 34 (1) UUD 1945”. http://hukum.kompasiana.com/2012/07/06/di-balik-pasal-34-1-uud-1945-475923.html (22 Oktober 2013).
    N,N. “Masyarakat miskin di Indonesia capai 28 juta jiwa”. http://nasional.sindonews.com/read/2013/09/17/15/784027/masyarakat-miskin-di-indonesia-capai-28-juta-jiwa (22 Oktober 2013).
    Pongoh, Hentje & Chairman. “Rakyat miskin di negara kaya raya”. http://www.sapa.or.id/f2/2888-rakyat-miskin-di-negara-kaya-raya (22 Oktober 2013).
    N,N. “Setengah hati melawan kemiskinan”. http://www.sapa.or.id/f2/3158-penanggulangan-kemiskinan-pnpm-mandiri-setengah-hati-melawan-tnp2k (22 Oktober 2013).
    N,N. “BLSM masih jadi kontroversi”. http://bogor-kita.com/berita/hot-topic/3443-blsm-masih-jadi-kontroversi.html (22 Oktober 2013).
    N,N. “Pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang kurang mampu”. http://kerabatkotakk.blogspot.com/2010/11/pelayanan-kesehatan-bagi-masyarakat.html (22 Oktober 2013).
    N,N. “Minimnya pelayanan kesehatan bagi orang miskin”. http://www.dmustadhafin.com/khazanah/82-minimnya-pelayanan-kesehatan-bagi-orang-miskin.html (22 Oktober 2013).

3 komentar:

  1. Makasih infonya, ijin pake buat tugas ya

    BalasHapus
  2. kak, kok kritikanY sangat keras... sepertiY kakak juga terlihat buta untuk melihat kenikmatan yang di berikan negara kepada anda. apakah anda menuntut negara menjadi tuhan yang maha sempurna, atau anda sendiri yang sudah buta dan berusaha mencari kesalahan orang di atas sana. sekarang pertanyaan saya, apa yang anda lakukan dan berikan kepada negara ini?. kalau tidak ada, berarti anda layaknya seorang pengemis di lampu merah yang meminta belas kasihan kepada para pengguna jalan. terima kasih, mari kita tersenyum.

    BalasHapus